A number of widely discussed court decisions on cases of insults against religious feelings in Russia, such as the relatively recent “Pokemon Go” case of blogger Ruslan Sokolovsky or the lawsuit filed against an Orthodox priest by Nikolai Ryabchevsky in Yekaterinburg for comparing Lenin with Hitler, make pertinent the question of why toleration becomes so difficult in matters concerning religion. In this paper, I revise the classical liberal concept of toleration (David Heyd, Peter Nicholson, and John Horton), arguing that it (...) is challenged by contemporary philosophers, who see no room for applying this concept in the “domain of identities”. The most prominent case of “primordial” identity, that is, the notion of identity as a given, is the claim of devoted believers for recognition. Should we replace the principle of toleration by the principle of recognition since the latter better corresponds to identity claims? To address this question, in the first part of the article I describe the mechanism of tolerant attitude (Nicholson, Heyd) and in the second part, I analyze the debates about the possibility or impossibility of inner religious toleration (Avishai Margalit, Cary Nederman, and Maxim Khomyakov) and further compare toleration and recognition as normative principles. In the light of the debates I took part in the conference hosted by the University of Southern Denmark in October 2019 as part of the project “Religious Majority/Minority in Public Space in Russia and Northern Europe: Historical-Cultural Analysis”, I come to the conclusion that the principle of toleration is preferable to the principle of recognition because the “second-order” arguments for toleration in a secular state will be universally acceptable (pragmatic argument) and, therefore, the principle of toleration is more logical (analytical argument). Following Peter John’s thesis about minimal recognition embedded in toleration, it may also be concluded that we need a normatively charged idea of citizenship, which could provide us with universal “second-order” foundation. (shrink)

Dalam novel klasik Crime and Punishment, Fyodor Mikhailovich Dostoevsky secara artistik dan dengan sengaja menggambarkan penderitaan mental dan dilema moral Rodion Romanovich Raskolnikov, seorang mantan mahasiswa hukum muda yang intelek dan simpatik yang tinggal di daerah kumuh Saint Petersburg [1]. Konflik batin Raskolnikov muncul demi kepentingan kemanusiaannya ketika melihat kehidupan yang menyedihkan di sekelilingnya, mengarah pada sikap utilitarian-altruistik terkait pembenaran atas kejahatannya [2]: “Mengapa tidak membunuh rentenir tua yang malang, rakus, dan “tidak berguna” lalu menggunakan dananya untuk meringankan penderitaan (...) manusia?” Dengan pemikiran itu di dalam pikirannya, Raskolnikov bertekad untuk melakukan pembunuhan tetapi ia segera kewalahan oleh rasa bersalahnya. Sudah lebih dari satu abad sejak novel ini pertama kali diterbitkan. Namun, masih banyak orang yang memiliki penderitaan mental dan dilema moral seperti yang dihadapi Raskolnikov. Sebagai manusia, penyakit merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari namun ingin dihindari oleh semua orang, terutama penyakit yang bersifat fatal seperti kanker, penyakit jantung, infeksi pernafasan, dll. Beberapa diantaranya dapat disembuhkan, dan beberapa tidak. Namun, bagi masyarakat yang mengalami kemiskinan, uang adalah alasan utama yang membuat sebagian besar penyakit serius menjadi “tidak dapat disembuhkan”. Kenyataan pahitnya adalah semakin serius sebuah penyakit, semakin mahal pula biaya pengobatannya. Baik pasien dengan penyakit serius maupun keluarga mereka perlu melakukan pengorbanan yang signifikan untuk membiayai tingginya biaya pengobatan dan perawatan, yang dapat mendorong mereka ke dalam kemiskinan. Jika perawatan medis tidak lagi terjangkau, maka rumah sakit kemungkinan akan “memulangkan” pasiennya ke rumah sehingga mereka dapat menghabiskan saat-saat terakhir hidup mereka dekat dengan orang yang mereka cintai. Pasien non-lokal, miskin, dan tidak memiliki asuransi memiliki sekitar 70% kemungkinan untuk menjadi miskin akibat menjangkau layanan kesehatan [3]. (shrink)

The outline of the development of Performance Art features happenings in New York and Vienna in the sixties as well as body art and performances with closed circuits in the seventies (among others). Action Art, Environmental Theater and Intermedia are the terms defining the main characteristics of the works discussed. The research method is mainly based on Intertextuality (Mikhail Mikhailovich Bakhtin) and Systems Theory (Niklas Luhmann).